Selasa, 17 November 2009

CAMBUK BAGI DUNIA PENDIDIKAN

Cambuk bagi dunia Pendidikan

Ida Rahmawati (0902917)

Mengejutkan. Di saat pemerintah mewajibkan belajar pendidikan dasar sembilan tahun dengan membebaskan biaya operasional sekolah (BOS). Namun, angka putus sekolah di tingkat pendidikan dasar masih relatif tinggi. Angka putus sekolah dasar di Jakarta masih berkisar 1,78 persen. Persentasi ini bahkan lebih tinggi dari beberapa provinsi lain.

Bahkan, angka putus sekolah di Indonesia masih di atas satu juta siswa pertahun. Dari jumlah itu, sebagian besar adalah mereka yang masih duduk dijenjang pendidikan dasar dengan jumlah anak putus sekolah berjumlah 600.000 hingga 700.000.

Putus Sekolah

Putus sekolah merupakan salah satu permasalahan yang sulit untuk di pecahkan dari dulu hingga sekarang. Putus sekolah tampaknya akan semakin rumit jika kita melihat situasi dan kondisi ekonomi negara saat ini yang sedang dilanda krisis. Faktor penyebab anak putus sekolah. Pertama, kondisi ekonomi keluarga yang kurang beruntung. Kondisi ekonomi masyarakat tentu saja berbeda, tidak semua keluarga memiliki kemampuan ekonomi yang memadai dan mampu memenuhi segala kebutuhan anggota keluarga. faktor ekonomi menjadi faktor penyebab utama putus sekolah. Kenyataan itu dibuktikan dengan tingginya angka rakyat miskin di Indonesia yang anaknya tidak bersekolah atau putus sekolah karena tidak ada biaya. Kondisi ekonomi menjadi penghambat bagi seseorang untuk memenuhi keinginannya dalam melanjutkan pendidikan sebab pendidikan juga membutuhkan dana yang cukup besar.

Oleh karena itu, pemerintah menyediakan sekolah gratis sebanyak-banyaknya. Ini jelas salah karena belum tentu dengan disediakannya sekolah gratis menjadi jaminan masalah anak putus sekolah bisa teratasi dengan baik. Memang di satu sisi akan membantu meringankan jika ditinjau secara faktor ekonomi, namun kebijakan ini harus juga ditunjang dengan kebijakan yang lain agar mampu menuntaskan faktor-faktor penyebab putus sekolah lainnya. Karena faktor ekonomi bukan penyebab satu-satunya putus sekolah. Pemerintah juga memberikan beasiswa kepada 690.000 murid SD pada tahun 2008. Setiap anak mendapatkan Rp 360.000 dalam setahun. Beasiswa ini diberikan kepada anak di kawasan yang rentan mengalami putus sekolah. Seharusnya pemerintah tidak hanya melihat persoalan putus sekolah disebabkan oleh faktor ekonomi, dan kemiskinan saja, tetapi dari faktor lain juga.

Kedua, kurangnya pengetahuan orangtua mengenai pentingnya pendidikan. Di daerah pedalaman yang masyarakatnya miskin atau kurang memahami mengenai pentingnya pendidikan pasti sangat sulit untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun. Karena masih banyak orang tua yang memiliki pola pikir bahwa pendidikan itu dianggap kurang penting, dan ada juga orang tua yang memaksa anak-anaknya untuk membantu mencari nafkah.

Menurut Prof Dr Supriyoko, pakar pendidikan(08/09) “orangtua yang setengah memaksa anaknya membantu mencari nafkah, atau di daerah pedalaman yang masyarakatnya hidup berpindah-pindah untuk menggarap lahan pertanian, dan bahkan ada orangtua yang memang tidak ingin anaknya melanjutkan sekolah karena alasan tertentu, merupakan sebagian dari faktor penyebab anak putus sekolah.”

Maka perlu dilakukan sosialisasi terhadap orangtua tentang pentingnya pendidikan bagi anak dan memberitahukan bahwa pendidikan di sekolah sangat penting bagi kehidupan dan untuk bekal anak di masa yang akan datang atau masa depan.

Salah satu kendala dalam upaya mengurangi angka putus sekolah ada pada orangtua.. Karena tanggung jawab pendidikan anak berada pada tangan orangtua. Dan orangtua juga yang memotivasi anak.

Ketiga, lingkungan atau wilayah. Lokasi yang jauh juga menjadi penyebab putus sekolah. Di wilayah-wilayah yang secara geografis sangat luas dan terbatas, seperti di wilayah-wilayah pedalaman atau terpencil, untuk bisa mencapai sekolah dengan jarak puluhan kilometer tentu bukan perkara mudah, karena kondisi transportasi di wilayah tersebut sangat sulit dan memakan waktu agar bisa pergi ke sekolah maka bisa dipastikan anak akan putus sekolah.

Data menunjukkan bahwa sebagian kasus putus sekolah banyak terjadi di wilayah-wilayah yang secara geografis masih kesulitan sarana transportasi. Beberapa provinsi yang wilayahnya luas seperti yang ada di Indonesia bagian timur dan beberapa bagian di barat masih memiliki kendala transpormasi.

Keempat, ada beberapa wilayah yang termasuk wilayah pedalaman masih menganggap bahwa perempuan sebaiknya tidak bersekolah terlalu tinggi. Dari angka statistik tahun 2006, hal ini dibuktikan banyaknya siswa laki-laki yang bersekolah lebih banyak daripada siswa perempuan. Hal itu menunjukkan bahwa di dalam keluarga yang bersekolah lebih tinggi, cenderung diberikan kepada anak laki-laki.

Kelima,tidak ada keinginan dan motivasi untuk melanjutkan sekolah. Anak yang tinggal di daerah terpencil pasti akan berfikiran bahwa mencari uang lebih penting di bandingkan dengan belajar di bangku sekolah.

Oleh karena itu, pemerintah harus berusaha lebih keras untuk lebih menekan lagi angka putus sekolah dengan menerapkan kebijakan pendidikan yang lebih optimal.Termasuk menyediakan fasilitas pendidikan yang terjangkau, menanamkan pentingnya pendidikan bagi anak kepada orangtua, dan pemerintah pula jangan hanya melihat faktor ekonomi saja tetapi juga faktor-faktor lainnya. Karena sangat di sayangkan jika dengan di adakannya sekolah gratis maka akan menjadi jaminan teratasinya anak putus sekolah.

Referensi

Panca Astuti,Palupi.2009. Putus sekolah masih menjadi masalah [online] Tersedia:http://www..menegpp.go.id.[25 Oktober 2009].

Jaka.2008. Faktor Ekonomi Menjadi Salah Satu Penyebab [online] Tersedia:http://pelajar-islam.or.id.[23 Oktober 2009].

Handoko, Rudy.2009. Problem Putus Sekolah yang Kompleks [online] Tersedia:http://ureport.vivanews.com.[27 Oktober 2009].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar